Cara Mengisi Kekosongan Hukum Di Indonesia





Ada pendapat para ahli hukum mengenai pengisian kekosongan hukum ini salah satunya dari Scholten. Scholten berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem terbuka (open System). Pendapat ini timbul berdasarkan pertimbangan tentang pesatnya kemajuan dan pertumbuhan masyarakat. Oleh karenanya dalam hukum yang ketinggalan itu terdapat banyak kekosongan di dalam system hukum yang terpaksa harus diisi oleh hakim asalkan pengisian/penambahan itu tidak membawa perubahan prinsipal pada sistem hukum yang berlaku. Hukum merupakan sistem terbuka tersebut dapat dimengerti karena hukum sifatnya dinamis yang berkembang secara terus menerus dalam suatu proses perkembangan.
Lalu sekarang bagaimanakah tindakan hakim apabila perkara yang ditujukan kepadanya tidak ada di dalam ketentuan yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan yang meskipun sudah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis?
Dalam hal ini hakim membuat suatu pengertian hukum yaitu suatu asas hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan dalam arti ini yaitu konstruksi hukum.
Konstruksi hukum ini tidak boleh diadakan secara sewenang-wenang harus didasarkan atas pengertian hukum yang ada dan dalam undang-undang yang bersangkutan. Serta konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas elemen-elemen di luar sistem materiel hukum.
Dalam konstruksi hukum terdapat 3 bentuk yaitu: analogi, penghalusan hukum serta argumentum a contrario.

A. Penafsiran Analogis
Penafsiran Analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya kata “menyambung aliran listrik” dianalogikan dengan “mengambil aliran listrik”.
Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai kesamaan permasalahan dengan anasir yang berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata terutama sekali di dalam hukum perikatan, sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUHPidana.
Berikut beberapa contoh mengenai analogi:
1.             Pasal 1546 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “untuk selainnya aturan tentang perjanjian jual beli berlaku terhadap perjanjian tukar menukar” dalam pasal tersebut perjanjian tukar menukar dianalogikan dengan perjanjian jual beli.
2.             Pasal 452 ayat (3) KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “ketentuan undang-undang mengenai perwalian atas anak-anak belum dewasa tercantum dalam pasal 331 sampai dengan pasal 334 dalam pasal 362, 367, 369 sampai dengan pasal 388, 391 dan berikutnya dalam bagian ini dan 13 bab XV berlaku juga terhadap pengampuan” dalam ketentuan diatas dapat kita lihat bahwa pengampuan dianalogikan dengan perwalian atas anak-anak belum dewasa.
3.             Sedangkan di dalam Bab XIII buku III KUH Perdata perjanjian kredit atau pinjam meminjam uang antara nasabah dengan bank di analogikan dengan perjanjian pinjam mengganti.

B. Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum merupakan kebalikan dari analogi hukum. Penghalusan hukum bermaksud mengisi kekosongan hukum dalam sistem undang-undang. Penghalusan hukum merupakan penyempurna sistem hukum oleh hakim. Sifat dari penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan dari pihak dan apabila satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan.
Contoh di dalam penghalusan hukum ialah: di suatu jalan terjadi tabrakan antara mobil A dan mobil B, kedua kendaraan tersebut berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi sehingga kedua kendaraan tadi sama-sama rusak dalam keadaan yang cukup parah. Apabila A meminta ganti kerugian terhadap B maka B pun bisa melakukan hal yang sama yaitu meminta ganti kerugian terhadap A, sehingga keduanya dinyatakan bersalah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi kompensasi.

C. Argumentum A Contrario
Penafsiran A contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran tersebut ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran A contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogi yang juga merupakan suatu konstruksi hukum dengan maksud untuk mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang.
Pada hakikatnya penafsiran a contrario adalah sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan. Kalau analogi membawa hasil yang positif maka a contrario membawa hasil yang negatif. Penafsiran Argumentum A Contrario bertujuan untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Contoh dari Argumentum A Contrario adalah berdasarkan Pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian sedang dalam pasal 39 PP No.9/1975 sebagai pelaksana UU No. 1/1974 berbunyi waktu tunggu seorang janda apabila cerai karena kematian untuk menikah lagi yaitu 3 kali suci atau 90 hari, tetapi hal ini tidak berlaku untuk seorang pria, seorang pria tidak diwajibkan menunggu 90 hari setelah cerai mati apabila ingin menikah kembali.


D.            Perbedaan antara Argumentum A Contrario dengan penafsiran Analogis

1.             Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif sedangkan menggunakan argumentum a contrario memperoleh hasil yang negatif
2.             Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan sedangkan menggunakan Argumentum a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.

E.             Persamaan Antara Argumentum A Contrario dengan penafsiran Analogis

1.             Sama-sama berdasarkan konstruksi hukum
2.             Sama-sama dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah
3.             Sama-sama dapat diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi
4.             Maksud dan tujuan keduanya sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam undang-undang.