Ada pendapat para ahli hukum mengenai
pengisian kekosongan hukum ini salah satunya dari Scholten. Scholten
berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem terbuka (open System).
Pendapat ini timbul berdasarkan pertimbangan tentang pesatnya kemajuan dan
pertumbuhan masyarakat. Oleh karenanya dalam hukum yang ketinggalan itu
terdapat banyak kekosongan di dalam system hukum yang terpaksa harus diisi oleh
hakim asalkan pengisian/penambahan itu tidak membawa perubahan prinsipal pada
sistem hukum yang berlaku. Hukum merupakan sistem terbuka tersebut dapat
dimengerti karena hukum sifatnya dinamis yang berkembang secara terus menerus
dalam suatu proses perkembangan.
Lalu sekarang bagaimanakah tindakan
hakim apabila perkara yang ditujukan kepadanya tidak ada di dalam ketentuan
yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan yang meskipun sudah
ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis?
Dalam hal ini hakim membuat suatu
pengertian hukum yaitu suatu asas hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang
bersangkutan. Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat
mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan dalam
arti ini yaitu konstruksi hukum.
Konstruksi hukum ini tidak boleh
diadakan secara sewenang-wenang harus didasarkan atas pengertian hukum yang ada
dan dalam undang-undang yang bersangkutan. Serta konstruksi hukum tidak boleh
didasarkan atas elemen-elemen di luar sistem materiel hukum.
Dalam konstruksi hukum terdapat 3
bentuk yaitu: analogi, penghalusan hukum serta argumentum a contrario.
A. Penafsiran Analogis
Penafsiran Analogis adalah penafsiran
daripada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata
tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut,
misalnya kata “menyambung aliran listrik” dianalogikan dengan “mengambil aliran
listrik”.
Menganalogi merupakan penciptaan
konstruksi baru, mempunyai kesamaan permasalahan dengan anasir yang berlainan.
Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata terutama
sekali di dalam hukum perikatan, sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya
memaksa tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUHPidana.
Berikut beberapa contoh mengenai
analogi:
1.
Pasal
1546 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “untuk selainnya aturan tentang perjanjian jual beli berlaku terhadap
perjanjian tukar menukar” dalam pasal tersebut perjanjian tukar menukar
dianalogikan dengan perjanjian jual beli.
2.
Pasal
452 ayat (3) KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “ketentuan undang-undang mengenai perwalian atas anak-anak belum dewasa
tercantum dalam pasal 331 sampai dengan pasal 334 dalam pasal 362, 367, 369
sampai dengan pasal 388, 391 dan berikutnya dalam bagian ini dan 13 bab XV
berlaku juga terhadap pengampuan” dalam ketentuan diatas dapat kita lihat
bahwa pengampuan dianalogikan dengan perwalian atas anak-anak belum dewasa.
3.
Sedangkan
di dalam Bab XIII buku III KUH Perdata perjanjian kredit atau pinjam meminjam
uang antara nasabah dengan bank di analogikan dengan perjanjian pinjam
mengganti.
B. Penghalusan
Hukum
Penghalusan hukum ialah memperlakukan
hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang
disalahkan. Penghalusan hukum merupakan kebalikan dari analogi hukum.
Penghalusan hukum bermaksud mengisi kekosongan hukum dalam sistem
undang-undang. Penghalusan hukum merupakan penyempurna sistem hukum oleh hakim.
Sifat dari penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan dari pihak dan
apabila satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan.
Contoh di dalam penghalusan hukum
ialah: di suatu jalan terjadi tabrakan antara mobil A dan mobil B, kedua
kendaraan tersebut berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi sehingga kedua
kendaraan tadi sama-sama rusak dalam keadaan yang cukup parah. Apabila A
meminta ganti kerugian terhadap B maka B pun bisa melakukan hal yang sama yaitu
meminta ganti kerugian terhadap A, sehingga keduanya dinyatakan bersalah,
sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi kompensasi.
C. Argumentum
A Contrario
Penafsiran A contrario adalah
penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal
dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran tersebut ditarik kesimpulan bahwa
masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya
berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran A contrario bertolak
belakang dengan penafsiran analogi yang juga merupakan suatu konstruksi hukum
dengan maksud untuk mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang.
Pada hakikatnya penafsiran a
contrario adalah sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan.
Kalau analogi membawa hasil yang positif maka a contrario membawa hasil yang
negatif. Penafsiran Argumentum A Contrario bertujuan untuk lebih mempertegas
adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Contoh dari Argumentum A Contrario
adalah berdasarkan Pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak
diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian
sedang dalam pasal 39 PP No.9/1975 sebagai pelaksana UU No. 1/1974 berbunyi
waktu tunggu seorang janda apabila cerai karena kematian untuk menikah lagi
yaitu 3 kali suci atau 90 hari, tetapi hal ini tidak berlaku untuk seorang
pria, seorang pria tidak diwajibkan menunggu 90 hari setelah cerai mati apabila
ingin menikah kembali.
D.
Perbedaan
antara Argumentum A Contrario dengan penafsiran Analogis
1.
Menggunakan
undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif sedangkan
menggunakan argumentum a contrario memperoleh hasil yang negatif
2.
Menggunakan
undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan sedangkan menggunakan Argumentum a contrario
mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.
E.
Persamaan
Antara Argumentum A Contrario dengan penafsiran Analogis
1.
Sama-sama
berdasarkan konstruksi hukum
2.
Sama-sama
dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah
3.
Sama-sama
dapat diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak
menyebut masalah yang dihadapi
4.
Maksud
dan tujuan keduanya sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam undang-undang.